Masih menangis sisa keraguanku.
Mengikat erat perbedaan dibalut perasaan.
Keadaan bukan lagi lawan. Karena diriku sendiri sudah menabuh genderang perang di suara pikiranku.
Tertatih mencari jalan yang tak bernama.
Alamat kebahagiaan konon tertulis di punggungnya.
Kelelahan bukan lagi perkara.
Karena keputusasaan tak dituliskan di buku harian kepribadianku. Sebab kepedihan sudah begitu sering kusaring.
Kuperoleh secarik peta, pada hikayat keluh dunia.
Di sana disebutkan syarat membagi bebanku.
Tapi sayangnya aku tak punya kawan yang sejalan. Aku tak terbiasa membagi kesusahan, kelaparan, ketidakberdayaan.
Semoga alamat itu hanya sebuah konon.
Dan segera kutemukan punggung yang bisa menjadi tempatku bernaung.
Juga masih ada tempat berbahagia untuk sebuah nama yang mereka sebut “Kita” untukku.