Menceritakan kisah (merasa) terlihat, namun kosong.
Bahkan ia belum bisa membedakan Literasi, Sastra dan Kesenian secara terperinci apalagi siapa tokoh di balik itu semua. Siapa pegiatnya dan bagaimana seni itu bisa terjadi.
Berawal dari kegelisahan ingin menulis buku, imajinasinya merasa bahwa sudah seharusnya seorang penulis memiliki karya buku. Masih teringat di telinganya perkataan seorang sahabat “Seseorang disebut penulis, karena ia menulis.” Penulis adalah sebutan yang diberikan dari orang lain. Bukan gelar yang kau buat sendiri.
Kegelisahan itu membawanya pada dorongan melihat kembali karya yang terbang di tahun ini. Ia menyusuri jalan kesendirian untuk mendapatkan jalan menuju Literasi, Sastra dan Kesenian.
Jalan sunyi yang ia tempuh saat ini ternyata membawanya pada kesadaran bahwa melakukan sesuatu memang tidak boleh berhenti, jangan teralihkan oleh hal lain yang baru diketahui tanpa benar-benar sadar kesukaan. Hal itu terjadi pada dirinya. Ia memang melakukan banyak hal-hal hebat, namun kehebatannya hanya disadari oleh dirinya sendiri. Lebih tepatnya ia merasa hebat sendirian.
Seperti seorang penulis, ia jadi penulis karena ia menyebut dirinya penulis. Tidak ada yang benar-benar menyebutnya sebagai penulis.
Pertemuannya dengan Literasi, Sastra dan Kesenian untuk keduakalinya sangat berbeda. Kesadarannya tentang pandangan dan tujuan bisa disebut sudah lebih baik.
Namun sebagaimana kebebasan, selalu dibegal kebimbangan. Sampai saat ini ia pun masih merasa bimbang. Apakah ia benar-benar menyukai berkesenian? “Tapi orang bodoh mana yang tidak suka seni?”
Anehnya, sekarang ia merasa benar-benar bimbang, padahal ia sudah tahu apa yang ia sukai.
Padahal setiap hal yang ia lakukan, sudah benar-benar ia rumuskan.
Tapi sebentar! Jangan-jangan perumusannya hanya perasaannya saja?
Ia jadi bertanya lagi, apakah ia sudah benar-benar merumuskan.