Termenung meneliti hati.
Duduk, kemudian berbaring di depan televisi.
Suara alarm sholatku berbunyi.
Subuh memanggil tubuhku yang mengigil seusai mandi.
Ujung musim, mengingatkanku tentang nasihat ayah; lelaki harus berani, lebih berani dari keberanian itu sendiri.
Umur yang semakin sedikit, melahirkan pertanyaan dan pernyataan.
Pasti Nanti akan datang, dan Dulu tidak pernah kembali.
Mengajar dan mempelajari ialah tugas mata, akal, dan semesta tubuh kita.
Kemudian mentari datang.
Seperti biasa, alarm kerjaku berdering.
Aku tak begeming, langsung menuju ruang ganti menyiapkan seragam biru-abu dan pomade di lemari paling atas bersama minyak wangi dan deodorant.
Sepi. Kunyalahkan musik blues terfavorit.
Berlaga ala Mayers, kutata rambutku sambil bernyanyi~
Gravity~ wants to bring me down..
Karena bekerja ialah kewajiban siapun.
Kelak seorang lelaki harus memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani seorang wanita yang luar biasa. Merawatnya sebagai perhiasan paling indah di dunia. Mendidik hasil cintanya dengan cinta, cinta, dan cinta.
Jika kau rasa berat, gunakan bahumu yang kuat.
Jika kau rasa lelah, minumlah airmata ibu yang selalu jatuh setiap pukul 02 pagi.
Mendoakanmu, menadahkan tangannya di hadapan Tuhan, mengecup kheningmu yang kemudian basah oleh tetesan airmatanya.
Menyiapkan sarapan pagimu, memelukmu pagi, siang, malam.
Membesarkanmu dengan segala yang ia punya hanya demi terwujudnya satu harapan, agar kau memiliki kehidupan yang lebih baik darinya
Puisi ini bukan tentang rasa, hanya seuntai bait kata yang kuhadiahkan pada doa-doa manusia yang senantiasa berupaya.
Cakung 2016