Apa kau pernah menangis tanpa sebab? tiba-tiba matamu lembab. Seperangkat paru di dadamu sesak seperti nelangsa napasmu terisak.
Kamu merasakan sakit, bukan sembelit, atau hal sulit yang rumit. Namun entah mengapa kau terpojok menahan nyelekitnya batin yang mungkin tak lagi bisa diobati betadine.
Dia meninggalkanmu dengan susunan alfa yang terbaca “Pecundang”.
Sampai mencabik-cabik rencana kebahagiaan yang sudah kau taruh dalam mangkuk harapan dengan ketulusan penuh terpampang.
Seorang Ustad berseru; jikalau ada kata ; “Andai saja” itu ialah setan yang sedang menjeratmu tuk menyeretmu ke kubangan yang bernama penyesalan.
Wahai jiwa-jiwa yang menangis, kau enggan lagi dikecewakan. Kau mengkristalkan hati, menutup pintu rapat-rapat.
Tak ada yang bisa menjamahmu, bahkan seekor anak lalat.
Namun sungguh malang, di kesendirian ;
Kedua matamu kembali menangis.
Kau semakin terkikis habis.
Kau teriak histeris.
Tragis.
Oh jiwa-jiwa yang menangis, sekarang kau duduk tertunduk. Kelelahan mengamuk.
Tanganmu menjadi cambuk bagi pintu yang tadi rapat kau tutup.
Tanganmu gemetar.
Matamu merah seperti tetesan lahar.
Wajahmu bengis.
Namun malang nian, hatimu tetap menangis.
Puas kau dengan penyesalan dan kepecundangan yang tlah terlampiaskan, kini kau mencari jalan untuk pulang.
Kakek tua bersendawa, kau menegurnya ;
“Kakek,, kenapa kau bisa sebahagia ini?
Hidupmu tanpa beban, padahal rambutmu yang tersisa hanya uban. Mungkin umurmu juga hanya sampai akhir pekan?”
Sambil mengunyah sirih, kakek berka ;
“Mencintai itu mudah, yang susah itu menerima.
Bahagia itu pilihan. Selama kau tak bisa menerima cintamu apa adanya, ya kau tidak akan bahagia.”
Oh.. jiwa-jiwa yang menangis,
temukanlah pulangmu, terimalah itu sebagai anugerah yang basah.
Dia hitam atau putih, tinggi ataupun rendah, jadikanlah dia kemewahan dalam kesederhanaan.
Dan soal tangismu, lakukan sesukamu.
Jakarta 2016