Sebuah kota bernama Gaza, berdiri di antara rapuh dan runtuh.
Rumah-rumah rebah di tumpukan puing-puing harapan,
tulangnya separuh, masa kecilnya dicuri waktu dan ledakan.
Buum!
Dentum yang menelan tawa,
bom fosfor menggulung malam; menghapus satu keluarga
yang hanya sedang menonton televisi sambil makan sepotong sate.
Di antara pelukan dan tawa, yang tersisa hanya binasa.
Tak ada air, tak ada roti, perut kenyang menjadi kenangan.
Tenda-tenda pengungsian kian sesak, penyakit menjalar seperti bayangan.
Tenaga medis menambal luka dunia, dengan tangan yang mulai bergetar kelelahan.
Bertahan hari ini,demi secercah hidup esok pagi.
Segalanya perlahan menggerogoti dari kaki hingga nurani.
Kehidupan hancur, kemanusiaan tercermin dalam wajah keserakahan.
Sisi tergelap manusia menjelma dunia di layar genosida.
Namun batinmu tak gentar, tak sedikitpun berputar arah.
Kata yang kau ucap lewat doa menembus langit, terdengar lantang di telingaku.
Kata yang kau jeritkan di antara darah saudaramu, masih membanjiri kepalaku.
Kata yang kau hunuskan bagai pedang, membakar dadaku:
MERDEKA! MERDEKA PALESTINA!
Di balik luka yang menganga, kau masih menanam bunga; berwarna masa depan, beraroma kehidupan.
Dari wangi itulah, aku tahu: Palestina tak pernah kalah.