Pagi ini anak itu terbangun dengan kecemasan yang sama seperti kemarin.
Melihat di sebelah kiri tempat tidurnya,
sang ayah belum juga kembali.
Sedangkan ibunya di surga sedang sibuk membangun rumah megah untuk tempat singgah Tuhan.
Pagi ini anak itu menangis lebih sendu dari kemarin, karena uang jajan yang tak lagi cukup untuk beli makanan.
Sementara lauk pauk semakin mahal.
Beras juga rasanya semakin menguras keringat untuk bisa dilumat.
Anak itu ke kamar mandi dengan tangisan yang semakin keras.
Membasahi rambutnya dengan harapan ayah akan datang membawa sabun dan odol, agar tubuhnya bersih dari sisa kotoran penampungan sampah, tempat ia mencari sisa nafkah.
Hidup dari sisa kehidupan orang lain.
Hanya itu yang mambuat ia masih tetap hidup.
Anak itu keluar kamar berdinding kardus bau prengus.
Menggendong karung, kemudian mengayun-ayunkan besi bengkok yang ia sebut “Pedang Kehidupan”.
Sepanjang jalan dengan air mata. Sepanjang apapun harapannya, ia tetap cemas menunggu kehadiran bapaknya.
Bapaknya yang sepuluh tahun lalu berangkat ke medan perang membela Negara.
Cakung 2015