Setelah kitab-kitab dibaca, sejarah seperti kau cerna.
Aku di mikrolet bergelut dengan lembab rasa iba, diangkut kesedihan, mendengar bocah yang menyanyikan kisah lara.
“Tak tahu bagaimana rupa ayahku & ibuku, yang kutahu hanya sebungkus nasi di pagi hari dan mengamen sampai malam datang lagi”
Ranselku masih penuh sisa logistik dari ombak yang bersenang-senang.
Menyimpan foya-foya bikini basah yang berenang telanjang di birahi laki-laki.
Kheningku pilu menahan tatapan yang menelusup ke hati si pengamen cilik.
Membalut haru memeluk ranselku erat-erat.
Di sudut angkot S15A, keluarga bahagia dapat telefon dari ayahnya. Adroid berjuta lembar di tangan bocah sebayanya.
Si pengamen cilik membayangkan pulang.
Pelukan mamah kini digantinya dengan petikan gitar, si pengamen cilik meringis tak mau menangis.
Si pengemen cilik mengusap takdir yang tuhan gariskan padanya.
Membayangkan pekan liburan bersama ayah.
Ohh pengamen cilik, aku tak habis tuk melihat dalamnya rintihmu, semoga yang maha besar menyegerakan pandanganku.
Walau padaakhirnya air mataku jatuh juga.
Jakarta 2016