Aku tak paham betul apakah benar tentang sebuah kesalahan itu buruk.
Saat mendengar jatuhnya air mata yang berasal dari kecewa.
Rasanya perih itu teramat keruh untuk batinku yang begitu kelih.
Aku juga tak paham betul sejauh apa kecewa punya makna di antara kebahagiaan hati.
Seringkali mataku sembab mengumandangkan keyakinan yang membakar sampai ke akar.
Memang benar hasilnya hanya membunuh berulang diriku di sebilah pedang.
Mematahkan tulangku yang renggang. Menyalahkan cahaya yang mengundang hilang.
Rasanya tak mau lagi hati ini merintih.
Sudah cukup mata ini merasa perih berhujan pedih.
Jiwa ini sudah jengah sebab luka bernanah pernah ada di latar harapanku yang indah.
Aku semakin gemar menangis, semakin senang mengemis
Semakin tipis pelapis pilu yang menyelimuti senduku.
Jika aku bertemu ibu, ku pinta segelas susu yang biasa ia seduhkan untukku.
Pasti manisnya bisa menepis kisahku yang sadis.
Jika aku bertemu ayah, akan ku pinjam sebilah lengan. Kutinju segala rasa empedu di setiap ruas jalanku.
Pastinya mampu kubeli sebidang tanah, lalu kubangun sebuah rumah.
Kuwarnai merah agar dunia menyebutnya mewah.
Aku tak mau lagi kecewa. Bila nanti aku mengecewakan takkan ku maafkan sifatku sendiri.
Aku tak ingin lagi jatuh berulang. Bila nanti dalamnya menghisap kakiku, akan ku ikat leherku di tiang pengharapan.
Aku memang gemar mencoba semua.
Tapi asal kau tahu saja aku tak gemar mencoba-coba perasaan dan harapan.
Aku membenci kecewa sepertihalnya aku tak ingin mengecewakan.