Selamat Berbahagia Hitam Manis Maduku

Selamat berbahagia wahai madu dalam kemasan kecap manis yang pedasnya sangat tegas.

Mungkin kita pernah terhujam kenyataan dengan sangat menelan.
Kita juga pernah berdarah karena tertembak peluru belikat berwarna pekat.
Untuk waktu yang lama, kita pernah menampung hujan dengan hati yang tak lagi berpenghuni.
Kubertanya padamu.
Apa pernah kau bermusuhan pada kenyataan?
Lalu kenapa kau memusuhi masa lalu kita.
Apa pernah kau menembakkan luka pada seseorang?
Lalu kenapa kau punya belikat yang tak lagi lekat.
Apakah kau yakin pernah berjalan sendirian?
Lalu kenapa sekarang kau membiarkanku kesepian.
Hidup ini bukan bercandaan.
Jika hanya bahagia karena tertawa,
lebih baik kita sewa pelawak kelas dunia di kamar mandi rumah kita.
Hidup ini harus maju.
Namun jika maju tanpa rindu, lebih baik aku diam menahan malu yang memalukan.
Kita keras kepala.
Karena sekejam apapun dunia, keras kepala tidak akan sembuh dengan kata sungguh.

One Response

  1. Catatan kecil untuk si hitam manis yang membuatmu memberi selamat atas kebahagiaannya. Saya juga berbahagia, karena dalam kondisi pahit seperti ini pun masih sempat membuat puisi yang manis.

    Pertama, banyak perkembangan dalam pemilihan diksi. Cukup tegas, dan sampai di bayangan pembaca (terutama saya). Saya rasa, inti dari puisi ini ada pada bait:

    //Selamat berbahagia wahai madu dalam kemasan kecap manis yang pedasnya sangat tegas.// Mungkin kita pernah terhujam kenyataan dengan sangat menelan.// Kita juga pernah berdarah karena tertembak peluru belikat berwarna pekat.// Untuk waktu yang lama, kita pernah menampung hujan dengan hati yang tak lagi berpenghuni.

    Selesai. Seharusnya. Tapi ternyata, penulis masih kurang puas untuk menyelesaikan puisinya. Sehingga, lahirlah pengulangan, di sini:

    //Kubertanya padamu.// Apa pernah kau bermusuhan pada kenyataan?
    Lalu kenapa kau memusuhi masa lalu kita.// Apa pernah kau menembakkan luka pada seseorang? Lalu kenapa kau punya belikat yang tak lagi lekat.//
    Apakah kau yakin pernah berjalan sendirian? Lalu kenapa sekarang kau membiarkanku kesepian.//

    Seandainya, puisimu langsung ditutup dengan:

    Hidup ini harus maju.// Namun jika maju tanpa rindu, lebih baik aku diam menahan malu//
    tanpa diksi //yang memalukan.//

    atau tanpa bait:

    //Hidup ini bukan bercandaan.//Jika hanya bahagia karena tertawa,
    lebih baik kita sewa pelawak kelas dunia di kamar mandi rumah kita.//

    dan tak usah pula ditambah:

    //Kita keras kepala.// Karena sekejam apapun dunia, keras kepala tidak akan sembuh dengan kata sungguh.//

    Alangkah saya akan lebih bahagia dari si hitam manismu. Karena, saya bisa menikmati puisi yang tegas, lugas dan tuntas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *